Aku masih ingat ketika itu, hari Sabtu, 13 Desember 2003 jam 7.30. Pertemuan kami yang pertama kalinya setelah sebelumnya kami saling bertukar biodata.
Sekilas, kulihat dia sedikit gugup dan menundukkan pandangannya. Tetapi kemudian ayat-ayat Al Qur’an yang dibacanya segera menghapus gelisahnya. Tenang dan yakin. Gugupku pun sirna. Setelah itu kami masing – masing dipersilakan memperkenalkan diri masing – masing. Dalam pertemuan itu ada Mas Aji dan Mbak Tia, istrinya, sebagai tuan rumah, aku, Mas Wahyu dan seorang teman. Pertemuan itu menjadi awal yang sangat penting dalam hidupku selanjutnya.
Allah memantapkan hati kami untuk sebuah ta’aruf : perkenalan. Dia belum pernah kukenal. Tapi feeling-ku benar benar kuat. Kriteriaku untuk calon suami sangat sederhana: shaleh dan jujur. Dan begitulah kesan yang kutangkap darinya.
Pertanyaannya yang diajukan untukku standar seorang aktivis:
Aktif di organisasi?
Hafalan Qur’annya sampai dimana?
Ngaji sudah berapa lama?
Ya ampun. Speechless. Tapi emosiku datar saja, berusaha untuk tetap jadi diri sendiri. Sebaliknya pertanyaanku untuknya:
Suka pelihara hewan?
Suka baca buku apa?
Kalau libur ngapain aja?
Setelah pertemuan itu berakhir, aku menyimpulkan sesuatu: kami berbeda! Tapi ada sebuah kekuatan yang membuat semua jadi tidak biasa. Cinta? Rasanya belum. Semuanya masih dalam batas logika.
Malam harinya, telepon berdering. Dia menelponku.
”Maaf, saya langsung saja ya? Sepertinya ada hal yang sangat pribadi yang tadi pagi belum saya sampaikan. Begini Mbak Dian, secara prinsip tidak ada yang menjadi masalah buat saya. Kebetulan saya masih pegawai kontrak. Apakah mbak Dian keberatan? Saya ingin ta’aruf ini dilanjutkan ke orang tua”
To the point sekali. Tapi justru itu yang membuat aku merasa mantap. Lalu kukatakan, ”Nggak masalah, pasti Allah akan cukupkan. Bisa nggak, hari Rabu ke rumah, ketemu sama Papa saya?”
”Insya Allah bisa, jam 8 malam” jawabnya pasti.
Kukabarkan ta’arufku pada orang tuaku yang ketika tinggal di Surabaya. Lalu mereka datang untuk pertemuan itu. Senin hingga Rabu pagi Papa terihat tegang. Biodata itu tak pernah berpindah dari sakunya.
Ketika pertemuan itu terjadi,
”Mas ini siapa, dateng ke gang buntu, mau apa?” tanya Papaku, memulai pembicaraan
”Perkenalkan Pak, saya Wahyu. Datang ke sini mau meminta putri Bapak jadi Istri saya” jawabnya tenang dan yakin.
Papa narik nafas panjang.
”Kamu kepingin Dian ini jadi istri kamu, memangnya kamu sidah cinta? Lha wong baru sekali ketemu?” tanya Papa.
”Saya nggak tahu Pak, tapi sejak ketemu saya nggak bisa tidur” jawabnya spontan.
”Kenapa kamu yakin sekali sama Dian?” Papa mencari kejujuran.
”Saya cuma pegang janji Allah: laki – laki yang baik untuk wanita yang baik, sementara laki- laki pezina untuk wanita pezina.” Jawabnya yakin.
Hening, Papa tampak berpikir. Lalu kemudian Papa melanjutkan, ”Ya sudah, besok kamu bawa Dian ketemu sama orang tuamu. Kalau Bapak Ibumu juga setuju, Sabtu tanggal 20 Desember besok kamu lamar anak saya”.
Pertemuan dengan orang tuanya cukup lancar dan tidak menjadi ganjalan atau masalah buatku. Dan jadilah, 7 hari setelah ta’aruf itu aku menerima pinangannya.
Lima bulan setelahnya, kami menikah. Begitulah, semenjak itu hari – hari kami menjadi hari – hari yang penuh kejutan yang menyenangkan. Berkah dari proses ini adalah, keluarga besar kami mulai percaya dan lebih menyenangi konsep pacaran setelah menikah ini, dan mempermudah seluruh proses pernikahan yang terjadi di keluarga. Subhanallah.
* Tulisan daur ulang ini diikutsertakan dalam Kuis Jumpalitan Mencari Pangeran yang diselenggarakan oleh Penerbit Mizan…
Alhamdulillah, menaaaang….